Kamis, 17 April 2014

Kelahiran Anakku

Tanggal 24 Maret 2014

Jam 19:30 ba’da isya
Saya pikir hanya kontrol biasa ke dokter, karena istri belum ada kontraksi dan bukaan sama sekali, sedangkan hari perkiraan lahir sudah lebih dari 4 hari. Dokterpun menyarankan untuk segera dikeluarkan karena terindikasi ketuban yang sedikit keruh. Dia bilang menggunakan metode yang dinamakan drip untuk mempercepat prosesnya. Keterangan secara medisnya itu gimana ga paham. Kita sih iyain aja, kan dia dokternya. Hahaha..
Dokter tersebut meminta secara uji lab, juga mental untuk memastikan bahwa, proses kelahiran normal itu memang sakit, jadi dipersiapkan. Istri dengan mantab bilang siyab! Saat ditanya mau kapan didrip dan ngamar, kita bilang sekarang! Beuh… Padahal belum makan malam….
Jam 21:00 
Saya berjalan kaki mencari makanan disekitar, sedangkan Istri saya sudah bersiap tiduran di ranjang klinik bersalin tersebut, dan diinfus. Yang dimana baru tau kalo lewat infus itulah yang namanya drip tadi masuk. Oke fine.
Sembari makan nasi goreng, nonton tv di kamar, ngabarin orang tua dan mengamati pergerakan perut istri yang sudah sering mengencang. Dan semakin sakit, katanya. Saya gak tau mesti ngapain. Dia kesakitan, ada bercak2 di sprei kasurnya. Tapi suster tiap jam cuma ngecekin tensi sambil nambahin tetesan drip di infus sambil bilang gak papa. WTF! Saya kehabisan cerita, dan motivasi golden ways apalagi untuk menghibur istri saya. Saya kosong dan kudu piye tweep.. Aku rapopo.. :(

Tanggal 25 Maret 2014
Jam 02:00
Saya putuskan memencet bel di kamar untuk keadaan darurat, meminta suster melakukan hal lain, misalnya ngecek bukaan atau apalah yang kira-kira terlihat progres sesuatu yg entah gimana yang namanya progres itu, selain istri saya mulet mlungker kesakitan.
Ya suster itu akhirnya mau ngeceki bukaan. Lalu dia lakukan sesuatu pada istri saya, dan bilang sudah bukaan antara 3-4. Dia bilang menunggu bukaan lengkap untuk kelahiran. Lagi-lagi dia tambahkan GAKPAPA kok untuk menenangkan. Hmmm.. ;|
Sekeluarnya suster dari kamar, kesakitan istri saya semakin parah, darah di kasur sprei yg sudah dikasih perlak semakin banyak mengucur, saya juga semakin bingung dan galau. Saya diem aja sembari doa tipis-tipis. Saya sempat keluar kamar cari udara segar sambil berjalan-jalan sekitar klinik yang sepi banget gak ada orang selain kami. Cuman terdengar suara satpam depan klinik bermain kartu dan radionya yang nyetel dangdutan. Doh!
Jam 03:30
Sempat sholat tahajud 2 rokaat saat istri semakin kesakitan dan memencet bel panggilan yang harus dipencet sekali lagi karena yang pertama gak ada siapapun yang dateng. Suster yang terlihat baru bangun tidur itu akhirnya meminta istri untuk segera dipindah ke ruang persalinan menggunakan kursi roda.
Ruang persalinan heboh dengan suara kesakitan istri dan kedubrakan suster bidan mempersiapkan ruangan. Tidak lama berselang, dokter yang rumahnya dibelakang klinik miliknya sendiri itu datang. Dia langsung mengajarkan bagaimana cara ngeden, nafas, dan posisi yang harus istri saya lakukan dengan benar. Juga yang saya lakukan untuk membantu persalinan, yaitu mengangkat bantal di belakang kepalanya. Keren! Hmm..
Ngeden pertama salah.
Ngeden kedua keluar air ketuban.
Ngeden ketiga kepala keluar.
Lalu keseluruhan badannya terlihat. Lalu tangisannya memenuhi ruangan. Saya dan istri saling tersenyum.
Menurut jam dinding, kelahiran terjadi pukul 04:17.
Adzan subuh diluar berkumandang.
Saya pun juga mengadzaninya yang mendadak dia berhenti menangis.
Lirih di dekat telinga dan tatapan tajam Anakku. Bayi kecil milik Allah yang dititipkan melalui rahim istriku.
Alhamdulillah telah lahir ke dunia..

Rabu, 05 Juni 2013

Sudah Isi?

Sebuah pertanyaan yang cukup bikin saya dan istri saya terperangah diselang waktu hingga 6 bulan pernikahan ini. Ya. Kami cukup bingung memahaminya, karena kami sendiri sepertinya sama-sama hampir tidak pernah bertanya seperti itu kepada yang lain, kini pertanyaan itu menghampiri dengan cara bertubi-tubi. Jawaban yang bisa terlontar adalah, "belum, doakan ya..".

Reaksi template yang tidak pernah saya duga sebelumnya itu, sejujurnya adalah kebenaran diantara kebingungan yang terbesit karena berdasarkan ilmiah praktis adalah, kehamilan itu datang saat menstruasi istri saya terhenti. Dan tidak ada niatan saya dari awal menunda untuk memiliki anak.

Beribu pertanyaan lanjutan kepada diri sendiri akhirnya terbuka dari pertanyaan semacam, "sudah isi?". Yang menyebabkan pertanyaan sistemik lainnya.

Iya ya. Kok belum.. Hmm.. Si itu udah ya? Kenapa ya? Akunya kenapa? Dianya kenapa? Faktor kesehatan? Atau apa? Apa bisa? Berapa lama?

Setiap pertanyaan itu berlarian, semakin kencang berpikir semakin dalam saya menggali kesalahan-kesalahan diri saya sendiri. Saya menenggelamkan perasaan di sebuah intropeksi diri hingga ke semua lini. Sebagai makhluk lemah yang belum cukup mampu diberi tanggung jawab oleh Allah. Sebagai makhluk bodoh yang tidak mungkin bisa membuat anak. Bahkan menggambar anak saja jelek. Allah yang membuat anak. Allah yang punya kuasa dari setiap tetes mani yang dibuahi. Allah yang menentukan waktunya. Saya tidak bisa meniupkan roh. Tidak bisa memberinya otak. Memanjangkan jemarinya. Karena itu, apakah aku bisa menjaga hidupnya kelak? Apakah aku menginginkan kehidupannya, seperti aku menginginkan hidupku sendiri dengan hidupnya? Allah maha tahu segala kapasitas saya.

Buat saya memilik anak bukan sekedar garis keturunan penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Tapi juga menjaga kesehatannya, akhlaknya, ilmunya, keimanannya kepada Allah. Juga untuk senantiasa mendoakan orangtuanya di kala amal ibadah terhenti oleh kematian.

Karena doa semoga menjadi anak sholeh dan sholehah adalah terjadi apabila bapak dan ibu nya yang juga sholeh sholehah..

Karena saya adalah anak yang dilahirkan dengan penuh perjuangan oleh orang tua saya. Dan ayah saya belum melihat kelahiran saya. Saya sering lupa mendoaakan beliau.

Banyak hal yang mesti dipelajari.
Banyak hal yang belum saya pelajari.
Banyak hal yang harus dilakukan.
Banyak hal yang harus segera dilakukan!




بسم الله الرحمن الرحيم

Rabu, 15 Mei 2013

The Long Wedding Road: Session 1




“ituloh sama ratih aja. Kayaknya cocok”.
udah deh sama ratih aja”.
“sama @divardha aja wes sam, rumahnya kan deket”.

Kata tiga orang teman yang saat itu hanya sekedar kelakar, sukur njeplak bahasa kerennya. Dengan tidak mengurangi rasa serius, jawaban dari saya sama, “opo ae! Apaaa aja seh!!”
Bukan saya sedang jual mahal ataupun gak bisa move on, saya tidak mengenalnya! Saya hanya kenal dia dari temen temennya si anu dan si itu. Taunya juga dari FB, YM, dan akun @divardha. Selama itu, ketertarikan sama sekali tidak bernaung diantara kita dalam dunia maya.

Singkat cerita, teman baik saya bernama @ayuindamood titip kaosnya camera obscura. Saat itu saya sedang berada di bandung. Karena males maketin, saya titipkan kaos tersebut ke teman baik saya satunya, @junglon yang sedang di jakarta dan berencana pulang ke malang.
Sesampai di malang, @junglon tidak bertemu dengan @ayuindamood. Karena merasa @divardha teman sejurusan, dititipkanlah kaos tersebut. Mudah harusnya. Nyatanya, ntah bagaimana kok tidak berjalan baik hibah titipan kaos tersebut. Penasaranlah si @junglon ini. Sebagai stalker sejati, didapatkan tweet2 mengejutkan dari @divardha dan @ayuindamood

Mereka sering ngetwit sesuatu yang mirip. Bahkan dengan selang waktu berdekatan. Padahal mereka tidak saling follow! Akhirnya karena penasaran, saya follow juga si @divardha ini. Dengan spekulasi2 liar, ada apakah antara @divardha dan @ayuindamood? Adakah sengketa dan perang dingin di antara mereka? Apa?

Waktu terus berjalan. Biarkan itu menjadi misteri. Hingga saya pindah ke semarang dan baru saja dekat dengan seseorang. Yang rupanya teman smp dan sma si @divardha. Namanya juga gebetan, cari info kemana saja termasuk @divardha dengan minta nomer hp nya lewat DM. Telpon untuk mengorek gebetan, yang rencananya berjalan singkat, jadi banyak curhatnya. Seperti sudah kenal lama sama @divardha ini..

Dan tidak ada telpon2 lagi setelahnya, bahkan perjalanan dengan gebetan juga gak berjalan mulus karena sesuatu hal. Bahkan gebetan juga berujar, “sama ratih aja, aku rela kok”. Apa-apaan ini?!

Hmmm… Singkat kata? Jadi kapan kenalnya sama @divardha?
Saya mulai pindah malang. Semua berjalan normal dan galau. Profesional galauers dong yaa.. :D
Suatu hari di bulan januari 2012 saya pengen nongkrong2 aja. Ngopi2 lucu. Siapa ya yg bisa diajak? Yaudaheh sms lah ke @divardha. Janjian di cafe jam 8, dia dateng jam 9. Baru pulang kerja katanya. Oke fine!

Obrolan2 lepas dan gayeng hingga tengah malam. hingga saya meberanikan diri mengantarkan dia pulang ke rumahnya yang sebenarnya deket banget, tapi itu malem jumat dan lewat kuburan.. Eeerrgghh..

Tidak ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi, hingga esok dia pergi ke jogjakarta dengan mamanya. Sepulangnya 2 hari kemudian, saya mengajaknya menikah. Dia mau…

(to be continued..)

The Long Wedding Road: Session 2

…………

Semudah itukah mengajak seseorang untuk menikah? (Ya)
Apakah mengajak menikah itu semudah mengajak seseorang pergi main? (Ya)
Terkesan main-main dengan ini?
Tidak serius dengan pernikahan?
Nikah itu serius, sakral, butuh proses, butuh persiapan matang, kemapanan, cinta. Bla bla bla.. Zuper sekali.. Hhhhrrrr…

.................

Proses yang membentuk apa yang kita inginkan. Saat kita capek berlarian, kita haus. Dalam keadaan haus itulah muncul keinginan untuk minum, dan gimana caranya mencari minuman supaya segar, gak haus. Itu juga kalo punya niat minum. Kalo males minum ya gpp, tidur juga boleh. Pilihan. Suka-suka.

Niat. Keinginan. Niat yang benar. Bukan niat dibalik niat.
Saat saya masih kuliah, beberapa pacar saya saat itu ada yg mengajak saya menikah. Terus terang pengetahuan saya kesana gak ada. Keinginan saya saat itu tidak ada menikah-menikahnya. Ya kuliah dululah, kerja dulu, ngeband, maen-maen ato apalah yang penting menikah itu gak tau buat apa. Gak kepikiran juga.

Hingga saatnya saya diputusin karena dibilang gak niat, apalagi saya gak lulus-lulus kuliah. Yauwes,
dengan energi kegalauan *ceileh*, skripsipun rampung. Sarjana Teknik ditangan. Dan seorang wanita dekat (yang dikenalin dari adekku) saat itu memberikan harapan dan tantangan untuk menikah dengannya, dengan proses menurut dia taaruf (menurut saya berkenalan). Dengan energi meluap-luap semacam itu, saya berusaha meraihnya, banyak belajar juga tentang Islam, juga tentang pernikahan, juga berusaha mendapatkan pekerjaan yang menurut para orangtua : Mapan.

Pekerjaan sebagai pegawai di sebuah perusahaan BUMN pun didapatkan, kabar gembira itupun aku sampaikan pada wanita tersebut, hasilnya adalah sebuah penolakan untuk menikah karena satu dan lain hal yang diruwet-ruwetkan sehingga janji tingal janji semacam batal menikah versi 2.1. *halah*

NIAT aja belum cukup bukan?
Lalu?

Adek saya menikah dengan sesorang yang dikenalnya lewat temennya, dari pertama ketemu hingga menikah memakan waktu 2 bulan, dimana sebulannya adalah bulan puasa. Persiapan yang ajaib. Mengingat mantu pertamanya ibuku yang termasuk gede-gedean. Saya berada diluar kota, dan pulang saat akan lebaran dan nikahan itu. Haru sekali saat itu. Adek saya pun tidak mengenal betul bagaimana suaminya. Dia cuman bilang: “pasrah mas, Allah yang ngatur”.

Beberapa selang kemudian, adek saya lagi-lagi mengenalkan saya dengan temennya, yang entah kebetulan atau apa adalah teman dekat wanita gak jadi nikah versi 2.1 tadi. Tapi kali ini saya hilangkan semua kriteria dan keinginan pada seorang wanita. Proses yang panjang untuk sebuah taaruf, pasrah gak pasrah yang jelas bapaknya beberapa kali bilang kalo tidak menyetujui. Gak bisa nego. Gak suka sama saya gampangnyalah. Batal menikah versi 2.2.

Niat. Pasrah. Gak cukup, kan?

Gak lama kemudian adek saya yang bongsor menikah. Dengan seseorang yang memang sudah lama dekat dengannya. Tinggal bersama-sama saya. Dan saya punya ponakan dari dia. Saya banyak belajar dari adek saya itu, bagaimana adek saya yang masih muda itu membina pernikahannya, berjuang menjadi ibu, istri, dan mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Ya, walaupun masih muda kalo memang sudah waktunya menikah dan punya anak ya dikasih.

Niat. Pasrah. Waktu.

Niatkan menikah bukan karena-karena dan sebab-sebab tertentu. Cocok dan cinta itu bukan alasan “niat” buat menikah. Niat menikah karena ingin beribadah, menyempurnakan iman. Haus tadi, ya niatin minum. Gak peduli jatuh cinta apa enggak sama soda.
Pasrahkan apapun minumannya, kalo haus biasanya juga diminum. Pasrah. Ini sulit. Kebanyakan maunya. Harus manis. Yang dingin. Gak suka yg durian, yg kopi, dll. Yang manis bisa bikin diabete juga lohh.. Allah yang taulah yang terbaik mana buat kita. Tenang aja. Coba minum dikit-dikit. Siapa tau nagih.. *eaaak*
Waktu. Semua pada tau. Semua pada punya kalendar dan jam.. *gak meaning kalo ini* -_-’ Semua sudah ada waktunya. Waktunya makan kapan, tidur kapan. Waktunya belum mikir tentang nikah, sampe waktunya besok nikah. Mana jalan yang arahnya dipermudah, gak usah dipersulit. Nanti kalo dipersulit beneran, jadinya galau lagi. Tambah panjang ceritanya. #rawiswis. Bisa the long wedding road session 3 nanti.
……….

The Long Wedding Road: Session 2.312012

.........

Saat saya mengajak nikah +ratih adiwardhani sinatra dan Ratih menyanggupi, saya bilang ke dia :

proses kita menuju ke pernikahan ini tidak akan mudah seperti kelihatannya, masih ada harus oke dari mama kamu, masih ada kakak kamu sebagai wali, masih ada tentang pekerjaanku, tanggunganmu, ego kita, dll. Kemungkinan tidak jadi menikah tetap ada. Kita punya tujuan kemana, tau tujuan kita kemana, kalo kita belok-belok ya sampainya lama, atau bahkan gak sampai ke tujuan kita. Jadi kalo ada jurang, naga, hantu, atau apapun ya dihadapi. Cari cara menghadapinya. Sekarang kita gak usah membicarakan tentang pernikahan dulu sebelum aku secara resmi meminangmu ke mama dan kakakmu. Istikharah, kalo memang jalannya, Allah pasti mempermudah

........

Ternyata benar saja, kalo tidak semudah itu, pernikahan saya tidak disetujui oleh naga (yang saudara bukan teman bukan). Konyol kan? Bahkan saya sampai mengalah karena naga yang aneh ini meminta saya menikah tahun depan saja. Ternyata Allah mengaturnya tidak demikian. Fitnah dan makian dia yang gak jelas itupun menguap entah kemana. Ijab qobul saya terbaca lancar di hari minggu 23 desember itu. Alhamdulillah..





END.


Disandur dari Tumblr